Dunia di Kepala Kakek
Kakek pernah bercerita
bahwa dunia diletakkan di atas seekor mahluk serupa kura-kura.
“Tapi,”tegasnya kakek lagi,”Jangan pernah membayangkan dia seperti
kura-kura biasa. Dia bertaring panjang seperti seekor singa laut,
kaki-kakinya sangat mirip dengan kaki burung, karena itu dunia bergerak
dengan cepat. Siang berganti malam hanya dalam hitungan bukan hari,
minggu, atau bulan.”
Aku mengingat sebuah gambar tua. Seorang lelaki bernama Atlas memanggul bola dunia di atas bahunya yang kekar. Pernyataan
kakek ingin aku tentang berdasarkan gambaran yang terlintas di kepalaku
itu. Tapi dia adalah kakekku. Tak seorang pun bisa membantah
perkataannya. Dia bekas tentara. Sering sekali dia menceritakan
bagaimana suasana di medan perang kemerdekaan. Tentu saja dengan gaya
bicara yang berapi-api agar kami yang terpaksa mendengarkan (karena
kakek sudah sering menceritakannya) turut merasakan semangat tempurnya
ketika menembaki musuh.
“Kau tahu, di ekor
mahluk yang seperti kura-kura itu, ada wajah yang sangat sayu.”
Tambahnya lagi. “Wajah?” Aku heran mendengarnya, dan kepadanya aku
tanyakan, “Apakah berarti mahluk itu punya dua kepala atau dua muka?”
Kakek tertawa terkekeh. “Bukan. Bukan seperti itu. Itu hanya gambaran
imajinatif tentang kenangan. Wajah itu milik seorang dewi. Tepatnya Dewi
Kesuburan. Karena dunia ini dimulai dengan kesuburan pepohonan dan
tetumbuhan.”
Aku masih tidak paham, bagaimana
mungkin wajah seorang dewi berada pada ekor mahluk seperti kura-kura
itu, tapi aku malas untuk mendebat ucapan kakekku. Kepalaku
manggut-manggut saja seolah mengerti perkataannya. Mata kakek menatap
tajam kepadaku. “Kau pasti tidak mengerti apa yang aku katakan, bukan?”
“Baiklah,
akan aku ceritakan bagaimana sebenarnya kejadiannya. Ketika Tuhan telah
menciptakan dunia ini. Tuhan ingin semuanya teratur dan dalam
pengawasannya. Maka dipanggillah mahluk-mahluk yang telah diciptakan
sebelum tumbuhan, hewan, dan manusia. Mahluk yang berukuran sangat besar
dan tinggal dalam kegelapan luar angkasa. Tentu saja tak seorang pun
bisa melihatnya karena mereka tersembunyi dan juga tak kasat mata. Dan
datanglah mereka, ada empat mahluk yang mendengar permintaan Tuhan, dua
mahluk yang mirip manusia, tetapi punya sifat yang bertolak belakang.
Yang satu suka dengan kegembiraan, di pundaknya ada binatang mirip singa
tetapi selalu tertawa. Yang satu lagi sangat suka dengan kekerasan,
kekejaman, dan kemarahan. Di dekat dadanya ada seekor binatang mirip
seekor naga. Ketika Tuhan meminta salah satu dari mereka untuk membawa
dunia ini, mereka segera berulah. Yang membawa singa tertawa
terbahak-bahak dan mengatakan permintaan Tuhan itu sangat mustahil
dilakukan. Yang membawa naga bersungut-sungut dan mengatakan permintaan
Tuhan itu lebih berat dari tugasnya yang menghasut manusia untuk berbuat
jahat.”
“Aku tahu satu mahluk lainnya adalah
kura-kura itu. Benar ‘kan, Kek?” Aku memotong pembicaraan kakek agar
ceritanya tentang dunia yang diangkut kura-kura ini segera berakhir.
Lagi-lagi kakek menatapku tajam. Rupanya dia tidak senang disela begitu
rupa.
“Kalau kau tak mau mendengarkan. Baiklah. Pergilah kau bermain!” Tukasnya.
Mendengar
nada bicaranya yang meninggi, aku tentu saja tidak ingin
mengecewakannya. Lagi pula, malam-malam begini, mana mungkin aku pergi
ke luar rumah dan bermain-main? Maka kupasang tampang memelas agar Kakek
mau melanjutkan ceritanya ini.
“Satu mahluk
lainnya adalah seperti seorang perempuan. Dia berambut panjang dan suka
sekali bersolek. Sepasang kakinya mirip dengan kaki naga yang ada di
pundak Kemarahan. Dan yang paling mencengangkan adalah payudaranya yang
jumlahnya sampai puluhan. Mahluk itulah yang banyak dikatakan orang
sebagai Ibu Bumi. Dia tidak menyanggupi permintaan Tuhan karena tubuhnya
lebih kecil dari yang lain. Lagipula, jika dia memanggul dunia ini,
tentu tak ada waktu baginya untuk bersolek dan melihat wajahnya pada
sebuah cermin yang selalu ada di tangannya.”
Sampai
di sini, kakek kembali melihat padaku. Memperhatikan apakah aku kembali
bosan mendengarkannya bercerita atau malah bersemangat. Nampaknya, aku
mulai dirasuki imajinasi dalam cerita kakek. Aku menikmati apa yang
digambarkan olehnya dalam cerita itu. Yang tak terbayang olehku adalah
dari mana kakek mendapatkan cerita semacam ini. Cerita yang tak pernah
kubaca di kitab-kitab suci. Melihat aku mulai tenang, kakek pun
melanjutkan ceritanya,”Tinggallah mahluk yang seperti kura-kura itu.
Melihat punggungnya yang kuat dan keras, Tuhan tanpa berkata lagi
meletakkan dunia di atas punggung mahluk itu.”
“Jadi, begitu saja ceritanya?”
Aku memberanikan diri bertanya kembali karena kakek terdiam seolah cerita yang ingin disampaikannya sudah selesai.
“Ceritanya
justru baru dimulai. Karena dunia diletakkan di atas punggung mahluk
seperti kura-kura itu, maka terjadilah keributan dari tiga mahluk yang
tadinya tidak mau membawa dunia itu. Mereka ternyata minta bagian dari
tugas yang diberikan Tuhan. Akhirnya, Tuhan memberikan mereka tugas.
Kegembiraan diminta memandu jalannya mahluk kura-kura, Kemarahan berjaga
di belakang, agar dunia tidak oleng atau jatuh dari punggung mahluk
kura-kura itu. Dan Ibu Bumi bertengger di ada dunia ini mengawasi
jalannya dunia ini. Karena itu dalam hidup kita kita harus selalu
mengutamakan kegembiraan dalam menjalani hari-hari. Kita boleh marah
terhadap diri kita jika kita gagal. Dan kita harus selalu menjaga hidup
kita agar segalanya bertumbuh, berbuah, dan berkembang. Bertumbuh
cita-cita kita, berbuah segala apa yang kita perbuat, dan indah dilihat
semua orang. Juga, kita harus selalu hati-hati dan waspada. Berjalan
dengan penuh perhitungan, dan bisa menyiasati bahaya seperti kura-kura
masuk dalam tempurungnya, dan tetaplah mengenangkan hal-hal yang subur.
Hal-hal yang membuat kita selalu berpikiran positif.”
Kali
ini aku manggut-manggut karena mengerti. Ternyata apa yang diceritakan
kakek adalah sebuah nasehat yang sangat berharga meskipun dibungkus
dengan cerita yang sangat aneh bagiku. Seulas senyum terkembang di
bibirku. Cerita yang aneh tetapi punya pesan cerita yang bagus.
“Bagaimana dengan manusia, Kek? Apakah Kakek punya cerita tentang asal muasal manusia?” Aku penasaran.
“Hahaha.
Kau tahu bahwa manusia turun ke dunia ini karena dikutuk, bukan?
Baiklah aku ceritakan bahwa ketika manusia diturunkan ke dunia itu, dia
terjun bebas sehingga mendarat di dunia ini dengan kepala di bawah dan
kaki di atas.”
“Ha? Bagaimana bisa, Kek?”
“Tuhan
sengaja membuatnya demikian. Agar manusia tidak sombong kepadaNya.
Terlebih, agar manusia tahu bahwa jika dalam keadaan terjungkir seperti
itu, maka dia merasa batas dari dirinya dan segala kenikmatan yang bisa
diraihnya adalah kematian.”